Dalam acara workshop di Semarang, saya mendapatkan kembali sejumlah nomor jurnal yang diterbitkan di Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang. Jurnal ini beralamat di Fakultas Syariah IAIN Semarang dan terbit atas ijin Dekan Fakultas Syariah. Sudah beberapa kali kita bahas JURNAL ini melalui forum CAP. Namun, setiap membaca edisi jurnal ini, selalu memunculkan ketakjuban dan perasaan aneh, mengapa dari sebuah Fakultas Syariah justru muncul pemikiran-pemikiran yang merusak syariah, bahkan merusak aqidah Islam itu sendiri?
Sebagai orang muslim, kita tentu pantas bertanya, untuk apakah Fakultas Syariah didirikan? Bukankah tujuannya untuk mengkaji syariah Islam dan berusaha mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari? Mengapa dunia ini sudah terbalik-balik? Para pejuang Islam terdahulu sibuk mengatasi serangan terhadap Islam yang dilakukan oleh kaum orientalis. Kini, kita dipaksa harus berpikir keras, mengapa anak-anak yang kita didik ilmu syariah justru menjadi anti-syariah?
Lebih parah dari itu, justru kini bermunculan dosen-dosen syariah yang aktif menghancurkan syariah Islam. Jika George W. Bush anti-syariah Islam, kita bisa maklum. Kita maklum, kalau Ariel Sharon benci kepada Islam. Kita pun maklum jika setan senantiasa berusaha menyesatkan manusia. Kita sangat paham, jika bertahun-tahun para orientalis Kristen, seperti Peter the Venerable, Arthur Jeffery, dan sebagainya senantiasa berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyerang kesucian dan keotentikan al-Quran. Tapi, bagaimana jika semua serangan itu datangnya justru dari dosen-dosen syariah? Kita perlu berteriak-teriak terus sekencang-kencangnya untuk menyadarkan umat kita, agar jangan lengah dan jangan tidur panjang dalam kebodohan dan ketidakpedulian. Kita perlu mengetuk hati dan pikiran para ulama dan pemerintah agar memahami akar masalah yang sedang kita hadapi, dan tidak terjebak ke dalam hal-hal yang superfisial.
Di dalam jurnal dari Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 30/2006, misalnya, terdapat sebuah tulisan dari Prof. Dr. Muhibbin yang berjudul ”Nikah Tanpa Wali”. Dia adalah Dekan Fakultas Syariah IAIN Semarang periode 2002-2006. Profesor ini menyebarkan pendapat bahwa untuk menikah, perempuan tidak memerlukan wali. Sebab, sebagaimana laki-laki, perempuan juga dianggap mampu untuk mengurus dirinya sendiri. Hukum yang mewajibkan adanya wali bagi wanita dalam hukum perkawinan dianggapnya tidak adil bagi wanita dan bernuansa diskriminasi gender. Bahkan, dia katakan, ”Maka, secara rasional keberadaan wali nikah sangat perlu dipertanyakan dan ditinjau ulang.” Menurut sang profesor IAIN ini, jika keberadaan wali nikah bagi wanita terus dipertahankan dalam hukum Islam, maka perlu dipertanyakan kepada para ulama dan cendekiawan tentang rasa keadilan yang digadaikan demi keberadaan wali nikah.
Untuk melegalisasikan pendapatnya yang berbasis pada ide ’kesetaraan gender’ profesor IAIN itu lalu membuat pernyataan yang aneh: ”Sejauh penelitian ulama terdahulu maupun penulis sendiri, Hadits-hadits tentang wali nikah di atas ternyata tidak ada yang shahih.”
Benarkah hadits-hadits tentang wali nikah bagi wanita tidak ada yang shahih? Pendapat ini sangat dulit diterima secara ilmiah. Para ulama hadits dan ulama fiqih telah banyak membahas masalah ini dengan sangat terperinci. Dalam Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq menjelaskan, bahwa hadits ”Tidak sah nikah tanpa wali” disahkan oleh Hakim dan Ibn Hibban. Banyak hadits lain yang maknanya sejenis yang diterima oleh para ulama sebagai hadits shahih atau hasan. Qurthubi misalnya, juga menyatakan sebuah hadits shahih dalam soal wali nikah bagi wanita: ”Siapa pun diantara wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal.”
Imam Tirmidzi menyebutkan bahwa hadits ”Tidak sah nikah tanpa wali” diikuti pula oleh golongan ahli ilmu di kalangan para sahabat, seperti Umar, Ali, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud dan Aisyah. Begitu juga para ahli fiqih di kalangan tabi’in seperti Said bin Musayab, Hasan al-Bashri, Syuraih, Ibrahim bin Nakhai, Umar bin Abdul Aziz, dan sebagainya.
Sebenarnya, selama ini, dalam perjalanan hukum Islam di Indonesia, soal wali nikah ini juga tidak menjadi masalah. Kitab-kitab Fiqih pun sudah membahas masalah ini dengan terperinci. Barangkali, si professor dari IAIN Semarang itu pun dulunya menikah dengan istrinya juga dengan wali bagi istrinya. Mungkin, dia nanti juga mau menjadi wali bagi putrinya yang menikah. Atau, jika dia konsisten dengan pendapatnya yang keliru itu, jangan-jangan dia pun akan membiarkan putri-putrinya menikah tanpa wali? Karena dalam pandangannya, kewajiban adanya wali bagi wanita dalam perkawinan dipandang sebagai penistaan derajat wanita.
Sebenarnya pandangan profesor IAIN itu telah meletakkan perspektif gender di atas al-Quran. Perspektif gender dijadikannya cara untuk melihat hukum-hukum Islam. Dalam perspektif gender, pembedaan peran wanita dan laki-laki dalam aspek sosial-budaya dipandang sebagai produk sosial-budaya yang bias gender. Kaum pengusung gender memang memandang bahwa perbedaan jenis kelamin laki-laki dan wanita tidak membawa akibat apa-apa terhadap peran sosial budaya. Menurut mereka, wanita tidak boleh ditempatkan sebagai makhluk domestik dan laki-laki makhluk di luar. Kepala rumah tangga tidak boleh diserahkan kepada kaum laki-laki, hanya karena dia laki-laki. Laki-laki tidak boleh diberi hak-hak dalam rumah tangga atau di luar ramah tangga. Bagi kaum ini, laki-laki dan wanita harus diberi kesempatan dan hak yang sama, baik di dalam maupun di luar rumah.
Rabu, 22 September 2010
KETIAK DOSEN SYARIAH MERUSAK SYARIAH (1)
Share
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar