Halaman

Sabtu, 18 September 2010

LIBERALISASI DI INDONESIA (4)

Share


Liberalisasi Syariat Islam

Inilah aspek yang paling banyak muncul dan menjadi pembahasan dalam bidang liberalisasi Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah pasti dibongkar dan dibuat hukum baru yang dianggap sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti dijelaskan Dr. Greg Barton, salah satu program liberalisasi Islam di Indonesia adalah "kontekstualisasi ijtihad". Salah satu hukum yang banyak dijadikan objek liberalisasi adalah hukum dalam bidang keluarga. Misalnya, dalam masalah perkawinan antar-agama, khususnya antara muslimah dengan laki-laki non-muslim.

Dalam sebuah tulisannya, Azyumardi Azra menjelaskan metode kontekstualisasi yang dilakukan oleh gerakan pembaruan Islam di Indonesia, yang dipelopori Nurcholish Madjid: "Bila didekati secara mendalam, dapat ditemui bahwa gerakan pembaruan yang terjadi sejak tahun tujuh puluhan memiliki komitmen yang cukup kuat untuk melestarikan 'tradisi' (turats) dalam satu bingkai analisis yang kritis dan sistematis .... Pemikiran para tokohnya didasari kepedulian yang sangat kuat untuk melakukan formulasi metodologi yang konsisten dan universal terhadap penafsiran Al-Qur'an; suatu penafsiran yang rasional yang peka terhadap konteks kultural dan historis dari teks Kitab Suci dan konteks masyarakat modern yang memerlukan bimbingannya." (Lihat, Pengantar Azyumardi Azra untuk buku Dr. Abd. A'la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal [Jakarta: Paramadina, 2003], hlm. xi).

Menjelaskan pendapat Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra menulis, " Al-Qur'an menunjukkan bahwa risalah Islam--disebabkan universalitasnya--adalah selalu sesuai dengan lingkungan kultural apa pun, sebagaimana (pada saat turunnya) hal itu telah disesuaikan dengan kepentingan lingkungan semenanjung Arab. Karna itu, Al-Qur'an harus selalu dikontekstualisasikan dengan lingkungan budaya penganutnya, di mana dan kapan saja."

Kontekstualisasi para pembaru agama Islam ala Nurcholish Madjid ini tidaklah sama dengan teori asbabun nuzul yang dipahami oleh kaum muslimin selama ini dalam bidang ushul fiqih. Tetapi, Azyumardi Azra memberikan legitimasi dan pujian berlebihan terhadap metode Nurcholish Madjid: "Cak Nur berpegang kuat kepada Islam tradisi hampir secara keseluruhan, pada tingkat esoteris dan eksoteris. Dengan sangat bagus dan distingtif, ia bukan sekadar berpijak pada aspek itu, namun ia juga memberikan sejumlah pendekatan dan penafsiran baru terhadap tradisi Islam itu. Maka, hasilnya adalah apresiasi yang cukup mendalam terhadap syariah atau fiqih dengan cara melakukan kontekstualisasi fiqih dalam perkembangan zaman." (Lihat, Pengantar Azyumardi Azra untuk buku Dr. Abd. A'la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal [Jakarta: Paramadina, 2003], hlm. xii).

Apa yang dikatakan Azra sebagai bentuk apresiasi syariat atau fiqih yang mendalam oleh nurcholish Madjid adalah sebuah pujian yang sama sekali tidak berdasar. Nurcholsih sama sekali tidak pernah menulis tentang metodologi fiqih dan hanya melakukan dekonstruksi terhadap beberapa hukum Islam yang tidak disetujuinya. Ia pun hanya mengikuti jejak gurunya, Fazlur Rahman, yang menggunakan metode hermeneutika untuk menafsirkan Al-Qur'an.

Karya kaum liberal di Paramadina dalam merombak hukum Islam lebih jelas lagi dengan keluarnya buku Fiqih Lintas Agama, yang sama sekali tidak apresiatif terhadap syariat, bahkan merusak dan menghancurkannya. Misalnya, dalam soal perkawinan antar-agama, buku Fiqih Lintas Agama tertulis: "Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihad dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antara agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena keududukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya." (Mun'im Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama [Jakarta: Paramadina & The Asia Foundation, 2004], hlm. 164).

Jadi, pendapat Azyumardi Azra tentang hebatnya kaum pembaru Islam yang dimotori Nurcholish Madjid adalah sama sekali tidak terbukti. Sebagai salah seorang cendekiawan yang sangat populer, Azra telah melakukan kekeliruan besar dengan cara memberikan legitimasi berlebihan terhadap gerakan pembaruan yang terbukti sangat destruktif terhadap khazanah pemikiran Islam. Dengan alasan melakukan kontekstualisasi, maka kaum liberal melakukan penghancuran dan perombakan terhadap hukum-hukum Islam yang sudah pasti (qath'iy), seperti hukum perkawinan muslimah dengan laki-laki non-muslim.

Prof. Musdah Mulia, tokoh feminis, juga melakukan perombakan terhadap hukum perkawinan dengan alasan kontekstualisasi. Ia menulis: "Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu (QS 60: 10, pen), larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara kaum Mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan sendirinya." (Musdah Mulia, Muslimah Reformis [Bandung: Mizan, 2005], hlm. 63).

Nuryamin Aini, seorang dosen Fakultas Syariah UIN Jakarta, juga membuat pernyataan yang menggugat hukum perkawinan antar-agama. Ia menulis: "Maka dari itu, kita perlu meruntuhkan mitos fikih yang mendasari larangan bagi perempuan muslim untuk menikah dengan laki-laki nonmuslim .... Isu yang paling mendasar dari larangan PBA (Perkawinan Beda Agama, red) adalah masalah sosial politik. Hanya saja, ketika yang berkembang kemudian adalah logika agama, maka konteks sosial-politik munculnya larangan PBA itu menjadi tenggelam oleh hegemoni cara berpikir teologis." (Lihat buku Ijtihad Islam Liberal [Jakarta: JIL, 2005], hlm. 220-221).

Entah kenapa, di Indonesia, yang mayoritas muslim, kaum liberal berusaha keras untuk menghancurkan hukum perkawinan antar-agama ini, seolah-olah ada kebutuhan mendesak kaum muslim harus kawin dengan non-muslim. Ulil Abshar Abdalla, di harian Kompas edisi 18 November 2002, juga menulis: "Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi." Bahkan, lebih maju lagi, Dr. Zainun Kamal, dosen UIN Jakarta, kini tercatat sebagai 'penghulu swasta' yang menikahkan puluhan--mungkin sekarang sudah ratusan--pasangan beda agama.

Padahal, perlu dicatat, larangan muslimah menikah dengan laki-laki non-muslim sudah menjadi ijma' (kesepakatan) para ulama dengan dalil-dalil yang sangat meyakinkan (seperti QS 60: 10). Memorandum Organisasi Konferensi Islam (OKI) menyatakan, "Perkawinan tidak sah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak, dengan tetap memegang teguh keimanannya kepada Allah bagi setiap muslim, dan kesatuan agama bagi setiap muslimat."

Ketika hukum-hukum yang pasti dirombak, maka terbukalah pintu untuk membongkar seluruh sistem nilai dan hukum Islam. Dari IAIN Yogyakarta muncul nama Muhidin M. Dahlan, yang menulis buku memoar berjudul Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur, yang memuat kata-kata berikut: "Pernikahan yang dikatakan sebagai pembirokrasian seks ini, tak lain tak bukan adalah lembaga yang berisi tong-tong sampah penampung sperma yang secara anarkis telah membelah-belah manusia dengan klaim-klaim yang sangat menyakitkan. Istilah pelacur dan anak haram pun muncul dari rezim ini. Perempuan yang melakukan seks di luar lembaga ini dengan sangat kejam diposisikan sebagai perempuan yang sangat hina, tuna, lacur, dan tak pantas menyandang harga diri. Padahal, apa bedanya pelacur dengan perempuan yang berstatus istri? Posisinya sama. Mereka adalah penikmat dan pelayan seks laki-laki. Seks akan tetap bernama seks meski dilakukan dengan satu atau banyak orang. Tidak, pernikahan adalah konsep aneh, dan menurutku mengerikan untuk bisa kupercaya." (Buku: Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur: Memoar Luka Seorang Muslimah, SriptaManent dan Melibas, 2005, cetakan ke-7).

Dari Fakultas Syariah IAIN Semarang bahkan muncul gerakan legalisasi perkawinan homoseksual. Mereka menerbitkan buku berjudul Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual. Buku ini adalah kumpulan artikel di jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 25, Th XI, 2004. Dalam buku ini ditulis strategi gerakan yang harus dilakukan untuk melegalkan perkawinan homoseksual di Indonesia. "Bentuk riil gerakan yang harus dibangun adalah
(1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut hak-haknya yang telah dirampas oleh negara
(2) memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya
(3) melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual
(4) menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita." (Lihat buku Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual [Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005], hlm. 15).

Pada bagian penutup buku tersebut, anak-anak fakultas Syariah IAIN Semarang tersebut menulis kata-kata yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh seorang muslim pun: "Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...