Di dalam hukum Islam, memang ada perbedaan antara wanita dan laki-laki. Wanita tidak diwajibkan untuk mencari nafkah, laki-laki wajib menafkahi istrinya. Wanita diizinkan untuk tidak shalat dan puasa karena haid. Laki-laki tidak ada cuti shalat dan puasa karena haid. Faktanya, aurat wanita juga berbeda dengan laki-laki. Perbedaan hukum itu terkait dengan perbedaan peran laki-laki dan wanita di dunia. Semua perbedaan itu bukan menunjukkan tinggi dan rendahnya status seseorang di mata Allah SWT. Jika seorang Ibu bermakmum di belakang anak laki-lakinya dalam shalat, bukan berarti di Ibu dilecehkan oleh anaknya. Jika wanita diberikan hak cuti hamil dan haid, bukanlah itu merupakan bentuk pelecehan oleh kaum laki-laki. Seorang istri yang menyediakan minuman bagi suaminya bukanlah suatu bentuk penindasan laki-laki atas wanita.
Tapi, semua itu tergantung dari perspektif mana dia melihat. Syahdan, seorang mahasiswi yang berfaham kesetaraan gender pada sebuah perguruan tinggi Islam di Jakarta merasa tersinggung ketika diberi kesempatan menempati tempat duduk di suatu bus umum oleh temannya yang laki-laki. Baginya, lebih terhormat berdiri berdesak-desakan di suatu bus umum ketimbang menerima belas kasihan kaum laki-laki. Bagi aktivis gender yang dimotivasi ideologi ’kiri baru’ (new left), mereka bahkan memiliki perasaan dendam kepada kaum laki-laki. Bagi mereka, laki-laki adalah kaum penindas wanita. Ulama-ulama mereka tuduh sebagai kaum penindas yang telah menafsirkan al-Quran untuk kepentingan kaum laki-laki. Karena itulah, mereka aktif menentang berbagai diskriminasi peran sosial berdasarkan gender. Hanya saja, hingga kini, kita belum mendengar protes kaum penganut kesetaraan gender ini tentang pemisahan kamar kecil (WC) bagi laki-laki dan wanita. Malah, di sebuah mal di Lebak Bulus, Jakarta, terlihat sebuah tanda tempat parkir khusus bagi pengemudi wanita.
Cara pandang kaum aktivis gender itu tentu saja sangat berbeda dengan kaum Muslim yang memahami agamanya dengan tenang tanpa perasaan dendam dan memandang hidup ini sebagai ujian dari Allah untuk menjalani peran masing-masing sesuai ketentuan dari Allah. Kaum Muslimah selama ini merasa tenang dan bahagia hidupnya ketika berkutat dalam kehidupan rumah tangga dan mendidik anak-anaknya dengan baik. Seorang Muslimah akan merasa nyaman dan bahagia ketika membersihkan rumah, mencuci baju suami dan anak-anaknya, menyediakan makanan bagi keluarganya. Semua itu dijalani dengan suka cita, karena yakin, bahwa itu adalah suatu ibadah. Konsep pengabdian dan ibadah ini tentu saja luput dari pikiran kaum aktivis gender.
Walhasil, pendapat yang disebarkan oleh profesor IAIN Semarang dalam soal wali nikah bagi wanita juga merupakan pendangan yang sangat tidak bijak. Sebagai dosen syariah, seyogyanya dia menghormati pendapat para ulama yang jauh lebih alim dari dirinya. Untuk apa dia menyebarkan pendapat seperti itu; apakah sekedar WtS (waton suloyo/asal beda)? Atau ada motivasi lain? Bagaimana jika para remaja putri kemudian menganggapnya sebagai pendapat yang benar, lalu mereka beramai-ramai kawin dengan pacarnya, tanpa perlu meminta perwalian dari orang tua? Bukankah ini akan menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat? Kita heran dengan mental dan perilaku dosen-dosen syariah semacam ini? Bukankah lebih baik dia mendiskusikan terlebih dahulu pendapatnya tersebut dengan para ulama dan para pakar bidang syariah dan hadits, sebelum menyebarkan pendapatnya yang keliru itu ke tengah masyarakat?
Pendapat yang asal-asalan tentang syariah Islam juga ditunjukkan oleh dosen syariah lainnya di IAIN Semarang, yaitu Rokhmadi, MAg. Pada Jurnal yang sama edisi 28/2005, pada rubrik dialog hukum ada pertanyaan kepada dosen syariah tersebut, bahwa seorang laki-laki asal Minang menikah dengan wanita Minang tanpa harus memberikan mahar. Sebaliknya, justru pihak wanita yang memberikan mahar, karena adat Minang memang begitu. Pertanyaan itu dijawab oleh si dosen, dengan mengatakan, bahwa masalah mahar adalah berkaitan dengan hukum keluarga (al-ahwal al-syakhshiyah) dan bukan ibadah mahdhah, yang harus diterima apa adanya. Maka, katanya, nash-nash dalam masalah ini terkait dengan kondisi sosio-kultural masyarakat pra-Arab dan masyarakat Arab. ”Artinya, ketentuan hukum yang diekspresikan Allah dan Rasul-Nya sangat dipengaruhi situasi dan kondisi setempat, dengan menjadikan unsur budaya lokal saat itu sebagai pertimbangan utama penetapan ajaran Islam. Bahwa al-Quran dan as-Sunnah sarat dan lengket unsur historisitas. Maka, tidak tepat mengakui (menerima) dan mempertahankan keberadaannya dengan segala konsekuensinya.”
Jadi, menurut di dosen syariah itu, karena masyarakat Arab menganut budaya patriarchi, maka wajar jika kewajiban memberikan mahar diwajibkan kepada laki-laki. Karena di daerah Minang yang dominan adalah wanita (matriachat tribe), maka kata si dosen, ”Wajarlah mahar menjadi kewajiban pihak perempuan karena posisinya di atas laki-laki dalam bersikap dan martabat keluarga.”
Menyimak pendapat dosen-dosen syariah seperti ini, kita tentu saja sangat prihatin, sekaligus geli. Betapa naifnya pendapat ini. Sepanjang sejarah Islam, kita melihat, tata cara perkawinan Islam yang satu di berbagai belahan dunia Islam, tanpa memandang unsur budaya. Jika mahar harus diberikan oleh pihak yang dominan, sesuai sosial budaya, maka akhirnya soal mahar ini tergantung kepada kondisi dan situasi setempat. Padahal, untuk Indonesia saja, ada berbagai budaya yang saling berlainan. Malah, bisa jadi, kondisi personal tiap orang berbeda-beda. Jika keluarga wanitanya yang kaya, sedangkan laki-lakinya miskin, apakah laki-laki tidak harus memberikan mahar?
Si dosen itu telah melakukan kebohongan atau kebodohan yang luar biasa yang menyatakan bahwa kewajiban mahar bagi laki-laki adalah terkait dengan budaya pra-Arab atau budaya masyarakat Arab. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan, Rasulullah saw tetap mewajibkan mahar harus diberikan oleh laki-laki, meskipun laki-laki itu sangat miskin, sehingga hanya bisa memberikan mahar berupa bacaan ayat-ayat tertentu dalam al-Quran. Bahkan, Abu Thalhah pernah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar ”masuknya dia ke agama Islam”. Karena itulah, masalah kewajiban mahar bagi laki-laki ini adalah masalah sunnah Rasululullah saw, dan bukan urusan budaya Arab.
Pemikiran-pemikiran yang ’nyeleneh’ dan merusak syariah Islam memang sudah bukan hal yang asing lagi di lingkungan Fakultas Syariah IAIN Semarang. Jangankan pemikiran yang menyerang syariah, pemikiran yang menyerang al-Quran habis-habisan pun dibiarkan saja dengan leluasa diterbitkan dalam Jurnal ini. Pada edisi 30/2006, Jurnal dari Fakultas Syariah IAIN Semarang ini malah menurunkan satu tulisan yang mengusulkan agar dilakukan amandemen terhadap ayat-ayat al-Quran yang dianggapnya bermasalah. Menurut si penulis, yang juga alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang, di dalam al-Quran ada ayat ”yang kotor” dan ayat ”yang bersih”. Karena itu, dia mengusulkan, agar umat Islam berani ”menghapus dalam pengertian ”mengamandemen” teks-teks keislaman terutama ayat-ayat Quran yang ”bermasalah” tadi.” (hal. 112-113).
Dengan semakin bertambahnya usia kampus-kampus Islam di Indonesia, kita sebenarnya berharap, dari Fakultas-fakultas syariah akan lahir pemikiran-pemikiran bermutu yang benar dan sehat. Dari kampus ini, kita harapkan lahir ulama atau cendekiawan yang shalih yang menjadi panutan bagi umatnya. Tentu saja merupakan musibah besar bagi umat, jika dari institusi pendidikan Islam, lahir cendekiawan atau pemikiran yang merusak Islam. Ke depan, kita berharap, pihak Departemen Agama lebih berhati-hati dalam mengangkap dosen-dosen syariah. Jangan sampai yang anti al-Quran justru diangkat menjadi dosen agama.
Tapi, yang membuat kita terheran-heran adalah sikap para pejabat kampus dan para tokoh serta ulama di Semarang yang berdiam diri terhadap tindak kemunkaran yang sudah amat sangat keterlaluan dalam menyerang Islam seperti ini. Kampus ini membawa nama Islam dan menyandang nama Walisongo, para ulama yang sangat berjasa dalam menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Konon, kabarnya, semua itu dilihat sebagai ’wacana’ belaka. Padahal, siapa pun tentu akan tersinggung, andaikan anaknya menyebarkan wacana ’perlunya membunuh orang tua masing-masing’. Meskipun itu sekedar wacana. Di dalam Islam ada adab dalam mencari ilmu. Tidak setiap wacana boleh disebarluaskan seenaknya sendiri. Jika masih dalam taraf belajar dan mencari ilmu, sebaiknya para mahasiswa diajar adab mencari ilmu dalam Islam, dan tidak berlaku sombong serta bebas sebebas-bebasnya dalam menyebarkan pendapat yang keliru. Sekali lagi, kita hanya bisa mengingatkan dan berharap, para dosen dan mahasiswa yang menyerang syariah dan al-Quran agar bertobat dan memperbaiki pemikiran serta akhlak keilmuannya. Wallahu A’lam.
SUMBER:ADIANHUSAINI.COM
Kamis, 23 September 2010
KETIKA DOSEN SYARIAH MERUSAK SYARIAH (2)
Share
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar