14. Luthfi Assyaukanie
Luthfi Assyaukanie (orang Paramadina Mulia Jakarta yang menganggap teks Al-Qur’an mengalami copy-editing oleh para sahabat. Ungkapan untuk meragukan kemurnian Al-Qur’an ini disiarkan lewat internet JIL (islamlib.com): “Saya cenderung meyakini bahwa Al Qur’an pada dasarnya adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi, tapi kemudian mengalami berbagai proses copy-editing oleh para Sahabat, Tabi’in, ahli bacaan (Qurra), Otografi, mesin cetak, dan kekuasaan.” (Islamlib.com –Merenungkan Sejarah Al-Qur'an, Oleh: Luthfi Assyaukanie Tanggal dimuat: 17/11/2003).
Bagaimana liciknya orang Liberal dari Paramadina ini, memasukkan berbagai unsur termasuk kekuasaan sebagai pelaku copy-editing terhadap wahyu Allah. Di masa sekarang perpolitikan yang sangat jauh dari Islam dan penguasanya tidak takut kepada Allah, lalu digambarkan bahwa Al-Qur’an pun mengalami copy-editing oleh kekuasaan, maka bisa dibayangkan betapa tajamnya untuk menyuntikkan pemahaman yang keliru mengenai kemurnian Al-Qur’an.
Betapa tega orang itu dalam menyuntikkan benih-benih untuk meragukan kemurnian Al-Qur’an. Tangan penguasa dengan bermodal kekuasaannya dianggap telah mengedit Al-Qur’an. Meskipun ada celoteh semacam itu, namun umat Islam tetap yakin terhadap penegasan Allah.
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr: 9).
Pertanyaan yang perlu diajukan kepada Luthfi Assyaukanie, kenapa musuh Utsman bin Affan yang sampai membunuhnya, kemudian tidak membuat Al-Qur’an tandingan, kalau memang benar bahwa Utsman menggunakan kekuasaannya untuk mengedit Al-Qur’an?.
15. M. Amin Abdullah
M. Amin Abdullah, Ketua Majlis Tarjih Muhammadiyah, Rektor IAIN Jogjakarta: “Tafsir-tafsir klasik Al-Quran tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat.”
Komentar: Ini mengingkari ilmu. Sebab tafsir-tafsir klasik itu menyampaikan warisan ilmu dari Nabi Muhammad yang disampaikan kepada para sahabat, diwarisi tabi’in, lalu tabi’it tabi’in, yang kemudian diwairisi para ulama. Dengan cara menafikan makna dan fungsi tafsir-tafsir klasik Al-Qur’an, maka sebenarnya yang akan dibabat justru Al-Qur’annya itu sendiri. Karena kalau umat Islam sudah menafikan tafsir-tafsir klasik Al-Qur’an, maka tidak tahu lagi mana makna yang Rajih (kuat) dan yang Marjuh (lemah) dalam mengetahui isi Al-Qur’an.
Di samping itu, masih mengingkari keadaan manusia. Seakan-akan manusia sekarang ini bukanlah manusia model dulu, tetapi makhluk yang baru sama sekali, tidak ada sifat-sifat kesamaan dengan manusia dulu. Padahal, dari dulu sampai sekarang, dan insya Allah sampai nanti, ciri-ciri dan sifat-sifat manusia itu sama. Yang munafik ya ciri-ciri dan sifat-sifatnya sama dengan munafiq zaman dulu. Yang kafir pun demikian. Sedang yang mu’min sama juga ciri dan sifatnya dengan mu’min zaman dulu. Maka Allah telah mencukupkan Islam sebagai agama yang Dia ridhai, dan Al-Qur’an menjadi pedoman sepanjang masa, karena manusia zaman diturunkannya Al-Qur’an itu sifatnya sama dengan zaman sekarang ataupun nanti. Tinggal tergolong yang mana?. Mu’min, Munafiq atau Kafir. Hanya itu.
Apalagi hanya tafsirnya, sedang Al-Qur’annya itu sendiri tidak menambah apa-apa kecuali menambah kerugian bagi orang-orang dhalim, dan menambah larinya orang-orang kafir dari kebenaran, memang.
Allah berfirman:
Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (QS. Al-Israa’: 82).
Dan sesungguhnya dalam Al Qur’an ini Kami telah ulang-ulangi (peringatan-peringatan), agar mereka selalu ingat. Dan ulangan peringatan itu tidak lain hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). (QS. Al-Israa’: 41).
Itulah komentar yang perlu disampaikan untuk Amin Abdullah (Rektor UIN Yogjakarta, penyeru diterapkannya metode Hermeneutik untuk menafsiri Al-Qur’an, padahal Hermeneutik itu metode untuk Injil yang memang teksnya penuh problem).
16. Taufik Adnan Amal
Taufik Adnan Amal (dosen Ulumul Qur’an IAIN Makassar, mengemukakan bahwa ayat "Innad diena indallohil Islam" itu ada yang lebih tepat untuk sekarang "Innad diena indallohil hanifiyyah". Ungkapan Taufiq Adnan Amal dan Ulil Abshar Abdalla yang disebarkan lewat Majalah Syir’ah itu mengandung kampanye untuk meragukan kemurnian Al-Qur’an dan sekaligus meragukan masih relevannya ayat-ayat Al-Qur’an dengan masa sekarang. Tentang buku Taufiq Adnan Amal berjudul Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, insya Allah dibahas di bagian bawah dari judul ini.
17. Abdul Moqsith Ghazali
Abdul Moqsith Ghazali, tadinya belajar di pascasarjana UIN Jakarta, termasuk tim penyusun draf counter legal Kompilasi Hukum Islam. Di antara isinya, Pasal yang tidak kalah kontroversial adalah pembolehan perkawinan beda agama. Tim Pengarusutamaan Gender bentukan Depag, sebagai penyusun draf, menilai pelarangan perkawinan beda agama melanggar prinsip Pluralisme dalam Islam.
Abdul Moqsith Ghazali, anggota tim penyusun, mengaku sejak semula sudah memperkirakan akan mendapatkan kritikan tajam. Timnya pun secara internal menjalani perdebatan yang panjang dan alot untuk membuahkan draf itu. Menurut dia, banyak sekali ketidakadilan dalam susunan KHI lama. ”Kami menyusun ini dengan mengacu pada dalil-dalil yang ada. Karena itu, jika memang tidak ada dalil yang melarang untuk mengubah sesuatu hal, berarti itu merupakan dalil untuk mengubah,” kata Moqsith (Republika, Selasa, 5 Oktober 2004).
Dia tak sadar, ucapannya bisa dipertanyakan, tak ada larangan nikah dengan buaya, babi dsb, apakah boleh nikah dengan babi, buaya dan sebagainya?. Pertanyaan ini dilontarkan oleh Ustadz Agus Hasan Bashori dari Malang, ketika ada kajian di Masjid Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Jawa Timur, 9 Januari 2004).
18. Siti Musdah Mulia
Siti Musdah Mulia (wanita, dosen pascasarjana UIN Jakarta, menyuarakan kesetaraan gender dengan membuat LSM di Departemen Agama, menyuarakan pembatalan syari’at Islam di antaranya melarang Poligami, tapi membolehkan nikah beda agama.
Ini jelas-jelas mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, dilakukan bersama timnya 11 orang plus kontributornya 16 orang. Tim pengharaman yang halal dan penghalalan yang haram itu adalah:
Dr. Siti Musdah Mulia, MA, Apu;
Drs. Marzuki Wahid, MA;
Drs. Abdul Moqsith Ghazali, MA;
Dra. Anik Farida, MA;
Saleh Partaonan, MA, M.Hum;
Drs. Ahmad Suaedy;
Drs. H Marzani Anwar, APU (alumni IAIN Jogjakarta);
H. Abdurrahman Abdullah, MA,
Dr. KH Ahmad Mubarok, MA;
Drs. Asep Taufik Akbar, MA.
Kontributor aktif 16 orang:
KH. Drs Husen Muhammad (pengasuh PP Arjawinangun Cirebon Jabar);
KH. Drs Afifuddin Muhajir, MA (pengasuh PP Sukorejo Asembagus Situbondo Jawa Timur);
Drs. Lies Marcoes-Natsir, MA (feminis Muslim);
Dr. H Zainun Kamal, MA (dosen Pascasarjana UIN Jakarta);
Dr. H Ahmad Luthfi (dosen pascasarjana UIN Jakarta);
Drs. Syafiq Hasyim, MA (Deputi Direktur ICIP Jakarta);
Faqihuddin Abdul Qadir, MA (Direktur Fahmina Institute Cirebon);
Drs. M Jadul Maula, MA (Direktur LKiS Jogjakarta);
Drs. Imam Nakhai, MHI (dosen Ma’had Aly Situbondo);
Dr. Hamim Ilyas, MA (dosen UIN Jogjakarta);
Dra. Badriyah Fayumi, Lc, MA (peneliti Puan Amal Hayati pimpinan Sinta Nuriyah isteri Gus Dur di Ciganjur Jakarta);
Drs. Noer Yamin Aini, MA (peneliti PPSDM UIN Jakarta);
Drs. Umi Khusnul Khatimah, MA (PP Fatayat NU);
Dra. Mesraini MA (staf pengajar UIN Jakarta);
Dra. Ny Hindun Anisa, MA (PP Krapyak Jogjakarta);
Drs. Fatmah Amelia, MA (dosen UIN Jogjakarta).
Mereka ini di bawah kordinator Siti Musdah Mulia mengeluarkan buku Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan label Pokja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Jakarta 2004. Isinya meresahkan umat Islam karena menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, hingga MUI berkirim surat teguran keras ke Menteri Agama Said Agil Al-Munawwar, akhirnya draf itu dicabut oleh Menag, Oktober 2004).
19. Faqihuddin Abdul Kodir
Faqihuddin Abdul Kodir (alumni Suriah) yang temannya sendiri seperti Adnin Armas heran, kenapa setelah jadi dosen STAIN Cirebon jadi nyeleneh dan menulis di Majalah Syir’ah yang isi majalah itu banyak menyesatkan).
20. Husein Muhammad
Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid-Cirebon, memberikan pengantar untuk buku In The Name ff Sex karya Soffa Ihsan yang tak sungkan membeberkan sederet pengalaman menghirup kenikmatan sesaat bersama perempuan lain –dari yang muda hingga yang tua.
Soffa Ihsan bertutur ihwal petualangannya di dunia prostitusi di kota besar hingga tempat-tempat terpencil di Sumatra. Soffa menyangsikan aturan agama dapat menyelesaikan masalah faktual, seperti pelacuran, hubungan sejenis, seks bebas, yang tak memandang kelas di masyarakat itu. Ia memandang doktrin agama tafsiran ulama klasik yang pernah dilahapnya di pesantren tidak relevan lagi dengan kenyataan yang berkembang di masyarakat. (Lihat Majalah Gatra Nomor 13 Beredar 4 Februari 2005).
Buku yang jelas-jelas membeberkan bejatnya moral diri sendiri sebagai seorang gigolo (?), masih pula menghujat Islam itu, malah diberi kata pengantar oleh Husein Muhammad. Di samping itu rupanya orang Cirebon ini dipercaya teman-teman sepenyelenehan untuk bicara gender sampai di Malaysia.
Sekalipun Husein Muhammad ini sudah dipercaya oleh orang JIL sampai jadi utusan ke Malaysia, namun ternyata keok di kandang sendiri di Cirebon, ketika melabrak seorang ustadz muda, Muhammad Toharo. Singkat peristiwanya, Husein Muhammad dan Faqihuddin beserta dua rekannya datang ke seorang ustadz muda, Muhammad Toharo, di Yayasan As-Sunnah Cirebon Jawa Barat. Empat orang berpaham model JIL itu berbantah dengan Ustadz Toharo di rumah Toharo.
Disepakati, mereka mempercayai Kitab Tafsir Ibnu Katsir, dan akan dibaca saat itu juga. Hussein Muhammad disuruh membacanya, tafsiran Surat Al-Baqarah ayat 62 yang sering dijadikan landasan faham Pluralisme Agama, menyamakan semua agama. Baru membaca beberapa baris, Hussein Muhammad di cecar, Yahudi dan Nasrani yang diterima agamanya oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala itu yang Saalifah, yang telah lalu (bukan setelah datangnya Nabi Muhammad ).
Pembacaan tafsir ini tidak diteruskan sampai hadits-hadits yang menjelaskan bahwa Yahudi dan Nasrani yang sudah mendengar seruan Nabi Muhammad dan tidak mau masuk Islam, lalu mati, maka menjadi penghuni-penghuni neraka. Akibatnya, empat orang JIL ini tidak bisa mengelak, akhirnya mengakui bahwa Yahudi dan Nasrani sekarang statusnya Kafir.
Hanya saja mereka berempat masih mengelak tentang Yahudi dan Nasrani yang statusnya kafir itu masuk neraka atau tidak. Lalu Ustadz Toharo menegaskan, menurut Al-Qur’an, orang kafir itu masuk neraka selamanya. Percaya Al-Qur’an tidak? Bila tidak percaya maka kamu Kafir, tegas Ustadzt Toharo, awal 2005. Demikian menurut penuturan Ustadz Toharo ketika penulis bertemu dengannya di Bogor, menjelang Iedul Adha 1425H/ 19 Januari 2005.
21. Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar (orang UIN Jakarta yang menyebarkan feminisme dan dipercaya oleh orang JIL –Jaringan Islam Liberal untuk bicara Islam model mereka ke Amerika).
Dia diangkat jadi pengurus struktural PBNU setelah Muktamar di Donoudan-Boyolali Jawa Tengah, Syawal 1425H/November 2004, yang saat itu pesawat Lion Air tergelincir di Bandara Panasan/Adisumarmo Solo hingga di antara tokoh NU, yang duduk di DPR dan akan menghadiri muktamar itu ternyata meninggal.
Gus Dur dan Masdar Farid Mas’udi kalah telak oleh pasangan Hasyim Muzadi dan KH Sahal Mahfudz, maka Gus Dur mengancam akan membuat NU tandingan. Akibatnya, Hasyim Muzadi mengakomodasi pihak Liberal model Gus Dur dan Masdar F Mas’udi, maka dimasukkanlah Nasaruddin Umar yang Liberal dan Feminisme itu ke jajaran kepengurusan PBNU).
22. Alwi Shihab
Alwi Shihab (tokoh di NU/PKB, pendorong awal dan pengkampanye penyamaan semua agama, berkolaborasi dengan pejabat non Islam untuk menatar para karyawan tentang faham Pluralisme Agama (menyamakan semua agama) di satu instansi meliputi Jawa dan Madura).
23. Quraish Shihab
Quraish Shihab mantan Menteri Agama 70 hari zaman Soeharto dan mantan Rektor IAIN Jakarta yang dikenal mengemukakan ucapan “Selamat Natal” diklaim sebagai sesuai Al-Qur’an, dan bersuara aneh tentang Jilbab hingga pernah dibantah mahasiswa Indonesia di Mesir.
Quraish Shihab menulis dengan judul Selamat Natal Menurut Al-Qur’an, di buku Membumikan Al-Qur’an. Di antara isinya:
Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, Al-Quran memperkenalkan satu bentuk redaksi, dimana lawan bicara memahaminya sesuai dengan pandangan atau keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya. Karena, si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan keyakinannya. Salah satu contoh yang dikemukakan adalah ayat-ayat yang tercantum dalam QS 34:24-25. Kalaupun non-Muslim memahami ucapan “Selamat Natal” sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan garis keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial.
Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu, bila ia ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Tetapi, tidak juga salah mereka yang membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan. (Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Dr. M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996)
Tulisan Quraish Shihab itu walaupun berdalih ini dan itu, di antaranya untuk interaksi sosial dan keharmonisan, namun justru dia tidak menengok kondisi sosial yang umat Islam selama ini jadi incaran Kristenisasi dan Pemurtadan. Bahkan di masa umat Islam terkena musibah seperti di Aceh yang kena badai Tsunami (Ahad 26 Desember 2004), hingga mematikan lebih dari 150-an ribu orang dan menghancurkan hampir seluruh bangunan, tetap saja Kristenisasi dan Pemurtadan mengintai-intai dan mencari kesempatan.
Hingga dikabarkan 300 anak Aceh dibawa keluar oleh lembaga Kristen, yang hal itu menjadi polemik. Dengan “fatwa” seperti itu, maka ada situs yang menyebut bahwa hanya mereka yang agak rancu pikirannya saja yang memahami ayat 30-34 Surat Maryam sebagai ayat yang memerintahkan/membolehkan untuk mengucapkan Selamat Natal kepada orang kafir. (lihat syariahonline.com, konsultasi akidah, Boleh mengucapkan selamat Natal?).
24. Atho’ Mudhar
Atho’ Mudhar Kepala Badan Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Deprtemen Agama RI yang berpendapat bahwa Masjidil Aqsho bukan di Palestina tapi di Baitul Makmur di langit, suatu penafsiran aneh yang berbau pro-Yahudi Israel dan dikemukakan di pengajian Paramadina pimpinan Nurcholish Madjid lalu disebarkan oleh Majalah Tempo (pimpinan tokoh Liberal Gunawan Mohammad).
Masalah itu pernah penulis kemukakan kepada Syaikh Rajab, Imam Masjidil Aqsho Palestina, 1993, beliau sangat terheran-heran, ada orang Indonesia yang seliar itu dalam menafsirkan ayat suci Al-Qur’an.
25. Azyumardi Azra
Azyumardi Azra, Rektor UIN Jakarta dan Ketua umum Yayasan Wakaf Paramadina di Jakarta menggantikan Komaruddin Hidayat. Azra termasuk penolak diterapkannya syari’at Islam namun nasibnya tak seburuk Ahmad Syafi’i Maarif, karena Azra meliuk-liuk dalam tulisan dan bicaranya dengan berlindung pada peradaban atau menisbatkan gagasannya kepada tokoh lain, hingga walau sampai sebagai pemuja demokrasi hingga dia sebut Islam Kompatibel (cocok, rukun, harmonis) dengan Demokrasi, namun masyarakat belum mengecamnya.
Padahal dia justru pemuja Demokrasi untuk dipas-paskan dicocok-cocokkan dengan Islam seraya menolak diterapkannya syari’at Islam. Dalam tulisannya di rubrik Resonansi di Harian Republika, Azyumardi Azra mengajak Indonesia untuk meniru langkah-langkah PM Malaysia, Abdullah Badawi.
Azyumardi menulis: Bagaimana sosok Islam progresif yang dibayangkan Badawi itu?. Singkatnya adalah Islam yang toleran, inklusif, modern, kompatibel dengan demokrasi dan perkembangan kontemporer. Bukan Islam yang dipahami secara harfiah, kaku, eksklusif, dan berorientasi ke masa silam.
Di situlah lihainya Azyumardi Azra, ketika ia sedang memuja Demokrasi dan Liberal dengan menyebut Islam yang Inklusif (menganggap agama kami mungkin salah, agama orang lain mungkin benar, maka saling mengisi; ini faham liberal yang setingkat di bawah Pluralisme Agama yang menyamakan semua agama), dan memuja Demokrasi dengan menyebut Islam yang Kompatibel (cocok, rukun, harmonis) dengan Demokrasi; ia sandarkan kepada orang lain yakni PM Malaysia, Abdullah Badawi.
Sehingga seakan-akan tulisannya itu bukanlah memuja Demokrasi plus jualan faham Liberal yang tak sesuai dengan Islam, dari dirinya sendiri. Kelihaian ini yang mengakibatkan Azyumardi Azra belum terkena getah cap buruk dari masyarakat, kecuali dari kalangan tertentu yang sudah mencium keliberalannya dan faham Pluralisme Agamanya yang dibungkus-bungkus itu. Dengan cara itu dia mendapatkan dua keuntungan, dari pihak anti-Islam dia dipercaya, sedang dari pihak Islam dia tidak/belum dikecam.
Allah lah yang Maha Mengetahui, mengetahui rahasia-rahasia yang di dalam hati, sedang manusia mengetahui gejala yang nampak. Bagi yang jeli seperti Adian Husaini, sekalipun dia berada di Kuala Lumpur Malaysia, namun sempat juga melihat tikaman-tikaman Azyumardi Azra terhadap Islam, maka Adian pernah menulis khusus menyoroti artikel resonansi Azra di Republika.
Sorotan Adian itu dimuat di hidayatullah.com Jumat, 03 Desember 2004 dan dibaca di Radio Dakta Bekasi, berjudul Kebangkitan Islam atau Kebangkrutan Islam?.
Tulis adian: “Menurut Azyumardi Azra, Kebangkitan Islam ditandai dengan toleransi dan gagasan pluralisme. Islam gaya Timur Tengah justru ‘ancaman Islam’. Sikap cari muka terhadap Barat?”.
Pada tanggal 2 Desember 2004, Prof. Azyumardi Azra, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, menulis satu di kolom Resonansi, di Harian Republika, berjudul Memahami Kebangkitan Islam.
Kolom ini perlu kita cermati karena memuat banyak hal yang perlu diklarifikasi. Sejumlah istilah yang digunakan Azyumardi memiliki makna yang rancu dan menunjukkan kuatnya hegemoni Barat dalam kajian tentang Islam, umat Islam, dan dunia Islam.
Sehingga, ilmuwan sekaliber Prof. Azyumardi Azra harus menelan mentah-mentah istilah dan sekaligus wacana yang dijejalkan oleh Barat ke dunia Islam. Karena itu, muncul paradoks, bahwa sesuatu yang mestinya diprihatinkan, justru dibangga-banggakan. (Lihat hidayatullah.com).
Adian mencontohkan, faham Pluralisme Agama (menyamakan semua agama) dibanggakan Azra karena kini tumbuh di Indonesia, padahal itu seharusnya sangat harus diprihatinkan, bukan dibanggakan. Makanya, Adian sampai mengatakan, Azra telah menelan mentah-mentah pernyataan orang Israel, yang hal itu sangat disayangkan, lalu Adian mempertanyakan, apakah itu untuk menjilat Barat.
26. Said Aqil Siradj
Said Aqil Siradj, dosen pasca sarjana UIN Jakarta dan tokoh NU –Nahdlatul Ulama– yang pernah bersuara sangat aneh dan menyakiti para sahabat Nabi Muhammad bahwa orang Arab sepeninggal Nabi Muhammad mereka murtad kecuali hanya orang-orang Arab Quraisy, itupun tidak keluarnya dari Islam bukan karena agama tapi karena suku/kabilah.
Dengan tulisannya di makalah yang sangat menyakiti para sahabat Nabi Muhammad itu maka Aqil Siradj dikafirkan oleh belasan ulama dan ada gagasan untuk diusulkan ke almamaternya, Universitas Ummul Quro Makkah, agar gelar doktornya dicabut; namun malah Aqil Siradj menantang silahkan dicabut, sekalian gelar hajinya yang telah ia jalani belasan kali silahkan dicabut.
Lancangnya Said Aqil Siradj melontarkan tuduhan bahwa “orang Arab sepeninggal Nabi Muhammad mereka Murtad kecuali hanya orang-orang Arab Quraisy, itupun tidak keluarnya dari Islam bukan karena agama tapi karena suku/kabilah” itu sangat jauh bila dibandingkan dengan peringatan dari Nabi Muhammad untuk berhati-hati dalam berucap mengenai pribadi para sahabat Nabi :
Diriwayatkan dari Abu Said katanya: Di antara Khalid bin al-Walid dan Abdul Rahman bin Auf telah terjadi sesuatu, lalu Khalid mencacinya. Mendengar hal itu, Rasulullah bersabda: Janganlah kamu mencaci Sahabatku, maka sesungguhnya walaupun salah seorang dari kamu membelanjakan emas sebesar gunung Uhud sekalipun, dia tidak dapat menandingi salah seorang ataupun separuh dari mereka. (Hadits Muttafaq ‘Alaih ).
Dengan lontaran-lontaran nyeleneh seperti itu maka mereka dari jauh pun sudah tercium baunya bahwa mereka adalah orang-orang yang suaranya nyeleneh mengenai Islam, atau kacau dalam berbicara tentang Islam. Itu belum yang secara habitat memang liberal seperti Komaruddin Hidayat bekas ketua Paramadina.
Dulunya Komaruddin Hidayat justru di barisan depan dalam menghadapi Islam, seakan berada di barisan Nasrani, ketika dia keceplosan menyinggung hal yang rawan: “Kalau nanti partai Islam menang maka kalian para tokoh dan anggota gereja disembelih semua”. Berita itu santer tahun 1985-an, dimuat oleh Koran Protestan, Sinar Harapan, lalu Komaruddin Hidayat khabarnya meminta maaf atas keterlanjurannya itu.
Ada pula bibit-bibit yang kini masih dalam proses kenyelenehan misalnya Pradana Boy, Sukidi, Fuad Fanani dari Muhammadiyah, dan semacamnya yang sudah tampak membela-bela kenyelenehan atau nyerempet-nyerempet ke arah kenyelenehan dengan tulisan-tulisan misalnya di milis-milis.
Belum pula aktivis yang tadinya dari Majalah Panji Masyarakat (dulu pimpinan Buya Hamka kemudian dilanjutkan anaknya, Rusydi Hamka, belakangan pindah-pindah tangan, dan kini telah tiada nafas lagi) misalnya Syafi’i Anwar yang bekerjasama dengan The Asia Foundation dengan lembaganya, ICIP (International Center for Islam and Pluralism) menyuarakan suara kemusyrikan yaitu Pluralisme Agama. Lembaga inilah yang mendatangkan tokoh Mesir yang telah divonis sebagai orang murtad oleh Mahkamah Agung Mesir tahun 1996 karena tulisan-tulisannya yang menghujat Islam yakni Dr. Nasr Hamid Abu Zayd ke Indonesia untuk ke UIN Jakarta dan lembaga-lembaga liberal lainnya, September 2004.
Orang-orang JIL pun sibuk mengikuti work shopnya, bahkan sibuk menulis dan wawancara untuk disebarkan di sana-sini. Nama Amin Abdullah (Rektor UIN Jogjakarta dan ketua Majlis Tarjih Muhammadiyah) selaku pengagum Nasr Hamid Abu Zayd karena teori Hermeneutic yang diikutinya telah menganggap Al-Qur’an sebagai produk budaya itupun diwawancarai dan disebarkan, pada bulan September 2004.
Masyarakat Islam Indonesia dijejali suguhan yang dikais-kais dari otak orang yang sudah divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir dengan sejumlah pelecehan terhadap Islam.
Berikut ini cuplikan artikel yang pantas disimak:
Oleh Dr. Syamsuddin Arif
Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman
Beberapa waktu lalu, sebuah workshop bertemakan kritik Wacana Agama, digelar di Jakarta.
Penyelenggaranya, Jaringan Islam Liberal (JIL) dan International Center for Islam and Pluralism (ICIP), menghadirkan Nasr Hamid Abu Zayd sebagai pembicara utama. Tulisan ini bermaksud mengkritisi sosok tokoh yang sedang tenar di Indonesia ini.
Nama Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual asal Mesir yang “kabur” ke Belanda dan kini mengajar di Universitas Leiden itu, pertama kali saya dengar dari Profesor Arif Nayed, seorang pakar Hermeneutika yang pernah menjadi guru besar tamu di ISTAC, Malaysia, sekitar tujuh tahun yang lalu. Perkembangan kasusnya saya ikuti dari liputan media dan laporan jurnal.
Terus-terang saya tidak begitu tertarik oleh teori dan ide-idenya mengenai analisis wacana, kritik teks, apalagi Hermeneutika. Sebabnya, saya melihat apa yang dia lontarkan kebanyakan –untuk tidak mengatakan seluruhnya– adalah gagasan-gagasan nyeleneh yang diimpor dari tradisi pemikiran dan pengalaman intelektual masyarakat Barat.
Promosi guru besar
Nasr Hamid Abu Zayd adalah orang Mesir asli, lahir di Tantra, 7 Oktober 1943. Pendidikan tinggi, dari S1 sampai S3, jurusan sastra Arab, diselesaikannya di Universitas Kairo, tempatnya mengabdi sebagai dosen sejak 1972. Namun ia pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute of Middle Eastern Studies, University of Pennsylvania, Philadelphia.
Karena itu ia menguasai bahasa Inggris lisan maupun tulisan. Ia juga pernah menjadi dosen tamu di Universitas Osaka, Jepang. Di sana ia mengajar Bahasa Arab selama empat tahun (Maret 1985-Juli 1989). Karya tulisnya yang telah diterbitkan antara lain: (1) Rasionalisme dalam Tafsir: Studi Konsep Metafor Menurut Mu’tazilah (al-Ittijah al-‘Aqliy fi-t Tafsir: Dirasah fi Mafhum al-Majaz ‘inda al-Mu’tazilah, Beirut 1982); (2) Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika al-Quran menurut Muhyiddin ibn ‘Arabi’ (Falsafat at-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhyiddin ibn ‘Arabi, Beirut, 1983); (3) Konsep Teks: Studi Ulumul Quran (Mafhum an-Nashsh: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, Kairo, 1987); (4) Problematika Pembacaan dan Mekanisme Hermeneutik (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aliyyat at-Ta’wil, Kairo, 1992); (5) Kritik Wacana Agama (Naqd al-Khithab ad-Diniy, 1992); dan (6) Imam Syafi’i dan Peletakan Dasar Ideologi Tengah (al-Imam asy-Syafi’i wa Ta’sis Aidulujiyyat al-Wasathiyyah, Kairo, 1992).
Kecuali nomor satu dan dua, yang berasal dari tesis master dan doktoralnya, tulisan-tulisan Abu Zayd telah memicu kontroversi dan berbuntut panjang. Ceritanya bermula di bulan Mei 1992. Abu Zayd mengajukan promosi untuk menjadi guru besar di fakultas sastra Universitas Kairo. Beserta berkas yang diperlukan ia melampirkan semua karya tulisnya yang sudah diterbitkan. Enam bulan kemudian, 3 Desember 1992, keluar keputusannya: promosi ditolak. Abu Zayd tidak layak menjadi profesor, karya-karyanya dinilai kurang bermutu bahkan menyimpang dan merusak karena isinya melecehkan ajaran Islam, menghina Rasulullah, meremehkan al-Quran, dan menghina para ulama salaf. Abu Zayd tidak bisa menerima dan protes.
Beberapa bulan kemudian, pada Jumat, 2 April 1993, Profesor Abdushshabur Syahin, yang juga salah seorang anggota tim penilai, dalam khutbahnya di Mesjid ‘Amru bin ‘Ash, menyatakan Abu Zayd murtad. Pernyataan Syaikh Syahin diikuti oleh para khatib di masjid-masjid pada Jumat berikutnya. Mesir pun heboh. Harian al-Liwa’ al-Islami dalam editorialnya 15 April 1993 mendesak pihak Universitas Kairo agar Abu Zayd segera di pecat karena dikhawatirkan akan meracuni para mahasiswa dengan pikiran-pikirannya yang sesat dan menyesatkan.
Pada 10 Juni 1993 sejumlah pengacara, dipimpin oleh M Samida Abdushshamad, memperkarakan Abu Zayd ke pengadilan Giza. Pengadilan membatalkan tuntutan mereka pada 27 Januari 1994. Namun di tingkat banding tuntutan mereka dikabulkan. Pada 14 Juni 1995, dua minggu setelah Universitas Kairo mengeluarkan surat pengangkatannya sebagai profesor, keputusan Mahkamah al-Isti’naf Kairo menyatakan Abu Zayd telah keluar dari Islam alias murtad dan, karena itu, perkawinannya dibatalkan. Ia diharuskan bercerai dari istrinya (Dr Ebtehal Yunis), karena seorang yang murtad tidak boleh menikahi wanita muslimah. Abu Zayd mengajukan banding.
Ulama al-Azhar
Sementara itu, Fron Ulama al-Azhar yang beranggotakan 2.000 orang, meminta pemerintah turun tangan: Abu Zayd mesti disuruh bertaubat atau—kalau yang bersangkutan tidak mau—ia harus dikenakan hukuman mati. Tidak lama kemudian, 23 Juli 1995, bersama istrinya, Abu Zayd terbang pergi ke Madrid, Spanyol, sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 1995 sampai sekarang. Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan yang sama:
Abu Zayd dinyatakan murtad dan perkawinannya dibatalkan. Dalam putusan tersebut, kesalahan-kesalahan Abu Zayd disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara ghaib yang disebut dalam al-Quran seperti ‘arasy, malaikat, setan, jin, surga, dan neraka adalah mitos belaka.
Kedua, berpendapat dan mengatakan bahwa al-Quran adalah produk budaya (muntaj tsaqafi), dan karenanya mengingkari status azali al-Quran sebagai Kalamullah yang telah ada dalam al-Lauh al-Mahfuz.
Ketiga, berpendapat dan mengatakan bahwa al-Quran adalah teks linguistik (nashsh lughawi). Ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al-Quran adalah karangan beliau.
Keempat, berpendapat dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu al-Quran adalah tradisi reaksioner serta berpendapat dan mengatakan bahwa syariah adalah faktor penyebab kemunduran umat Islam.
Kelima, berpendapat dan mengatakan bahwa iman kepada perkara-perkara ghaib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos.
Keenam, berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah agama Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia.
Ketujuh, berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-Quran yang ada merupa kan versi Quraisy dan itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Quraisy.
Kedelapan, mengingkari otentisitas Sunnah Rasulullah .
Kesembilan, mengingkari dan mengajak orang keluar dari otoritas Teks-teks agama.
Kesepuluh, berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan.
Reaksi pro dan kontra bermunculan, dari kalangan intelektual maupun aktivis HAM. Pelbagai media di Barat kontan mengecam keputusan tersebut seraya memihak dan membela Abu Zayd. Mereka menuduh Abu Zayd telah dizalimi dan ditindas, bahwa hak asasinya dirampas, bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi telah dipasung. The Middle East Studies Association of North America, misalnya, melalui Komite Kebebasan Akademis melayangkan surat keprihatinan kepada Presiden Mesir, Husni Mubarak. Namun keputusan tersebut sudah final, tidak dapat diganggu-gugat dan tidak dapat dicabut lagi.
Di Belanda Abu Zayd justru mendapat sambutan hangat dan diperlakukan istimewa. Rijksuniversiteit Leiden langsung merekrutnya sebagai dosen sejak kedatangannya (1995) sampai sekarang. Ia bahkan diberi kesempatan dan kehormatan untuk menduduki the Cleveringa Chair in Law Responsibility, Freedom of Religion and Conscience, kursi profesor prestisius di universitas itu. Tidak lama kemudian, Institute of Advanced Studies (Wissenschaftskolleg) Berlin mengangkatnya sebagai Bucerius/ZEIT Fellow untuk proyek Hermeneutika Yahudi dan Islam.
Pihak Amerika tidak mau ketinggalan. Pada 8 Juni 2002, the Franklin and Eleanor Roosevelt Institute menganugrahkan The Freedom of Worship Medal kepada Abu Zayd. Lembaga ini menyanjung Abu Zayd terutama karena pikiran-pikiranya yang dinilai ‘berani’ dan ‘bebas’ (courageous independence of thought) serta sikapnya yang apresiatif terhadap tradisi falsafah dan agama Kristen, modernisme dan humanisme Eropa.
Di Indonesia, Abu Zayd diundang dan disambut meriah. Gagasan-gagasannya di adopsi dan dipropagandakan secara besar-besaran, buku-bukunya diterjemahkan, lokakarya dan seminar digelar.
Prof Dr M Amin Abdullah dari IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dalam sebuah wawancara dengan JIL, mengaku cukup tertarik dengan karya-karya Abu Zayd seperti Naqd al-Khithab ad-Dini yang dinilainya cocok untuk dibahas (diajarkan) di lingkungan IAIN atau PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam).
Ia dan cendekiawan lainnya di Tanah Air tampaknya lupa atau sengaja menganggap sepi keputusan Mahkamah Agung Mesir, menganggap keputusan tersebut berlatarbelakang politik, dan karenanya tidak valid secara akademis.
Padahal, keputusan hukum tersebut diambil berdasarkan fakta-fakta dan hasil kesimpulan penelitian tim dan saksi ahli yang pakar di bidangnya. Jadi keputusan tersebut sah dan mengikat (valid and binding) baik secara hukum maupun secara akademis. Lebih jauh dari itu, karena dicapai melalui prosedur ilmiah, musyawarah dan kesepakatan para ahli (ulama) di bidangnya, maka keputusan tersebut sesungguhnya merupakan ijma’, bukan lagi pendapat pribadi. Dan itu diperkuat dengan pernyataan sikap ulama yang tergabung dalam Jabhat Ulama al-Azhar.
SUMBER:RISALAHJIHAD.BLOGSPOT.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar