Liberalisasi Al-Qur'an
Salah satu wacana yang berkembang pesat dalam tema liberalisasi Islam di Indonesia saat ini adalah tema "dekonstruksi kitab suci". Di kalangan Yahudi dan Kristen, fenomena ini sudah berkembang pesat. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni bidang ini dan menulis satu buku berjudul Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testament.
Pesatnya studi kritis Bible itu telah mendorong kalangan Kristen-Yahudi untuk "melirik" Al-Qur'an dan mengarahkan hal yang sama terhadap Al-Qur'an. Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, mengumumkan, "Sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap Al-Qur'an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani."
Hampir satu abad lalu, para orientalis dalam bidang studi Al-Qur'an bekerja keras untuk menunjukkan bahwa Al-Qur'an adalah kitab yang bermasalah sebagaimana Bible. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinan kaum muslimin bahwa Al-Qur'an adalah kalamullah, bahwa Al-Qur'an adalah satu-satunya kitab suci yang bebas dari kesalahan.
Beratus-ratus tahun wacana itu hanya berkembang di lingkungan orientalis Yahudi dan Kristen. Tetapi, saat ini suara-suara yang menghujat Al-Qur'an justru lahir dari lingkungan perguruan tinggi Islam. Mereka menjiplak dan mengulang-ulang apa yang dahulu pernah disuarakan para orientalis.
Ulil Abshar Abdalla, mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal, menulis, "Tapi, bagi saya, all scriptures are miracles, semua kitab suci adalah mukjizat." (Jawa Pos, 11 Januari 2004).
Taufik Adnan Amal, dosen Ulumul Quran di IAIN Makasar, menulis satu makalah berjudul "Edisi Kritis al-Quran", yang isinya menyatakan, "Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas pemantapan teks dan bacaan Alquran, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan Edisi Kritis Alquran." (Lihat makalah Taufik Adnan Amal berjudul "Edisi Kritis al-Quran", dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia [Jakarta: JIL, 2002], hlm. 78).
Di dalam buku Menggugat Otentisitas Wahyu, hasil tesis master di Universitas Islam Negeri Yogyakarta (Dulu: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) yang ditulis oleh Aksin Wijaya, ditulis secara terang-terangan hujatan terhadap kitab suci Al-Qur'an. "Setelah kita kembalikan wacana Islam Arab ke dalam dunianya dan melepaskan diri kita dari hegemoni budaya Arab, kini saatnya, kita melakukan upaya pencarian pesan Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani, dengan suatu metode dan pendekatan baru yang lebih kreatif dan produktif. Tanpa menegasikan besarnya peran yang dimainkan Mushaf Utsmani dalam mentransformasikan pesan Tuhan, kita terlebih dahulu menempatkan Mushaf Utsmani itu setara dengan teks-teks lain. Dengan kata lain, Mushaf itu tidak sakral dan sbsolue, melainkan profan dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita diperkenankan bermain-main dengan Mushaf tersebut, tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita." (Aksi Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan [Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004], hlm. 123).
Aktivis Islam Liberal, Dr. Luthfi Assyaukanie, juga berusaha membongkar konsep Islam tentang Al-Qur'an. Ia menulis: "Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa AlQuran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma'nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formasilasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan AlQuran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa." (Luthfi Assyaukani, "Merenungkan Sejarah Alquran", dalam Abd. Muqsith Ghazali (ed), Ijtihad Islam Liberal [Jakarta: JIL, 2005], hlm. 1).
Pada bagian lain buku terbitan JIL tersebut, ada juga yang menulis, bahwa 'Al-Qur'an adalah perangkap bangsa Quraisy', seperti dinyatakan oleh Sumanta Al-Qurtubhy, alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang. Ia menulis: "Di sinilah saya ingin menyebut teks-teks Islam klasik merupakan 'perangkap bangsa Arab', dan Alquran sendiri dalam beberapa hal sebetulnya juga bisa menjadi 'perangkap' bangsa Quraisy sebagai suku mayoritas. Artinya, bangunan keislaman sebetulnya tidak lepas dari jaring-jaring kekuasaan Quraisy yang dulu berjuang keras untuk menunjukkan eksistensinya di tengah suku-suku Arab lain." (Sumanto Al-Qurtubhy, "Membongkar Teks Ambigu", dalam Abd. Muqsith Ghazali (ed) Ijtihad Islam Liberal [Jakarta: JIL, 2005], hlm. 17).
Jadi, di berbagai penerbitan mereka, kalangan liberal dan sejenisnya memang sangat aktif dalam menyerang Al-Qur'an secara terang-terangan. Mereka sedang tidak sekadar berwacana, tetapi aktif menyebarkan pemikiran yang destruktif terhadap Al-Qur'an. Itu bisa dilihat dalam buku-buku, artikel, dan jurnal yang mereka terbitkan.
Cara yang lebih halus dan tampak akademis dalam meyerang Al-Qur'an juga dilakukan dengan mengembangkan studi kritik Al-Qur'an dan studi hermeneutika di perguruan tinggi Islam. Di antara tokoh-tokoh terkenal dalam studi ini adalah Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd dan Mohammad Arkoun. Buku-buku kedua tokoh ini sudah banyak diterjemahkan di Indonesia. Sekarang Kajian hermeneutika sebagai metode tafsir pengganti ilmu tafsir klasik pun sudah menjadi mata kuliah wajib di Program Studi Tafsir Hadits UIN Jakarta dan sejumlah perguruan tinggi Islam lainnya. Padahal, metode ini jelas-jelas berbeda dengan ilmu tafsir dan bersifat dekonstruktif terhadap Al-Qur'an dan syariat Islam.
Kaum muslim perlu merenungkan masalah ini dengan serius. Jika Al-Qur'an dan ilmu tafsir Al-Qur'an dirusak dan dihancurkan, apa lagi yang tersisa dari Islam?
Sabtu, 18 September 2010
LIBERALISASI DI INDONESIA (3)
Share
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar